Quantum Teaching
Menjadikan Kelas
Menggairahkan
A.
Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah
pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching. Quantum
Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal
Bulgaria,
yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan
pasti mempengaruhi hasil belajar.
Pada perkembangan selanjutnya, Bobbi DePorter (penulis buku best
seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov, dan Mike
Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum
Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain
sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas
(visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik.
Konsep itu sukses diterapkan di Super Camp, lembaga kursus yang
dibangun de Porter. Dilakukan sebuah penelitian untuk disertasi doktroral pada
1991, yang melibatkan sekitar 6.042 responden. Dari penelitian itu, Super Camp berhasil
mendongkrak potensi psikis siswa. Antara lain peningkatan motivasi 80%, nilai
belajar 73% , meningkatkan harga diri 84% dan melanjutkan penggunaan
keterampilan 98%.
Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep
Fisika Quantum yaitu:
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa
(semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses
pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas
dan antusiasme belajar pada peserta didik.
B. Arti Quantum Teaching
Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi
menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar
yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan
belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
Dalam Quantum Teaching bersandar pada konsep ‘Bawalah
dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal
ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan Quantum Teaching tidak hanya
menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga
diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika
belajar.
Dengan Quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan
kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Penelitian
di Universitas California
mengungkapkan bahwa masing-masing otak tersebut mengendalikan aktivitas
intelektual yang berbeda.
Otak kiri menangani angka, susunan, logika, organisasi, dan hal
lain yang memerlukan pemikiran rasional, beralasan dengan pertimbangan
yang deduktif dan analitis. Bgian otak ini yang digunakan berpikir mengenai
hal-hal yang bersifat matematis dan ilmiah. Kita dapat memfokuskan diri pada
garis dan rumus, dengan mengabaikan kepelikan tentang warna dan irama.
Otak kanan mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh
imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang
memerlukan kreativitas, orisinalitas, daya cipta dan bakat artistik. Pemikiran
otak kanan lebih santai, kurang terikat oleh parameter ilmiah dan matematis.
Kita dapat melibatkan diri dengan segala rupa dan bentuk, warna-warni dan
kelembutan, dan mengabaikan segala ukuran dan dimensi yang mengikat.
C. Prinsip Quantum Teaching
Prinsip dari Quantum Teaching, yaitu:
1. Segalanya
berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya
menyampaikan pesan tentang belajar.
2. Segalanya
bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita
ajarkan.
3. Pengalaman
sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.
4. Akui
setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.
5. Jika
layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada
siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi
tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.
Kerangka rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal
sebagai TANDUR
1. TUMBUHKAN. Tumbuh- kan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat
BAgiKU “
(AMBAK),
dan manfaatkan kehidupan pelajar
- ALAMI. Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar
- NAMAI. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”
- DEMONSTRASIKAN. Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk ‘menunjukkan bahwa mereka tahu”
- ULANGI. Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”.
- RAYAKAN. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan
D.
Petunjuk Pelaksanaan Quantum Teaching (Contoh Kasus di SMA Anu)
- Guru wajib memberi keteladanan sehingga layak menjadi panutan bagi peserta didik, berbicaralah yang jujur , jadi pendengar yang baik dan selalu gembira (tersenyum).
- Guru harus membuat suasana belajar yang menyenangkan/kegembiraan. “learning is most effective when it’s fun. ‘Kegembiraan’ disini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari) , dan nilai yang membahagiakan pada diri peserta didik.
- Lingkungan Belajar yang aman, nyaman dan bisa membawa kegembiraan:
- Pengaturan meja dan kursi diubah dengan berbagai bentuk seperti bentuk U, lingkaran
- Beri tanaman, hiasan lain di luar maupun di dalam kelas
- Pengecatan warna ruangan, meja, dan kursi yang yang menjadi keinginan dan kebanggaan kelas
- Ruangan kelas dihiasi dengan poster yang isinya slogan, kata mutiara pemacu semangat, misalnya kata: “Apapun yang dapat Anda lakukan, atau ingin Anda lakukan, mulalilah. Keberanian memiliki kecerdasan, kekuatan, dan keajaiban di dalamnya” (Goethe).
- Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh yang kuat pada proses belajarnya. Guru dapat mempengaruhi suasana emosi siswa dengan cara :
- kegiatan-kegiatan pelepas stres seperti menyanyi bersama, mengadakan permainan, outbond dan sebagainya.
- aktivitas-aktivitas yang menambah kekompakan seperti melakukan tour, makan bersama dan sebagainya.
- menyediakan forum bagi emosi untuk dikenali dan diungkapkan yaitu melalui bimbingan konseling baik oleh petugas BP/BK maupun guru itu sendiri.
- Memutar musik klasik ketika proses belajar mengajar berlangsung. Namun sekali-kali akan diputarkan instrumental dan bisa diselingi jenis musik lain untuk bersenang-senang dan jeda dalam pembelajaran.
- Sikap guru kepada peserta didik :
- Pengarahan “Apa manfaat materi pelajaran ini bagi peserta didik” dan tujuan
- Perlakukan peserta didik sebagai manusia sederajat
- Selalu menghargai setiap usaha dan merayakan hasil kerja peserta didik
- Memberikan stimulus yang mendorong peserta didik
- Mendukung peserta 100% dan ajak semua anggota kelas untuk saling mendukung
- Memberi peluang peserta didik untuk mengamati dan merekam data hasil pengamatan, menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban, menjelaskan sambil memberikan argumentasi, dan sejumlah penalaran.
- Terapkan 8 kunci keunggulan ini kedalam rencana pelajaran setiap hari. Kaitkan kunci-kunci ini dengan kurikulum.
- Integritas: Bersikaplah jujur, tulus, dan menyeluruh. Selaraskan nilai-nilai dengan perilaku Anda
- Kegagalan Awal Kesuksesan: Pahamilah bahwa kegagalan hanyalah memberikan informasi yang Anda butuhkan untuk sukses
- Bicaralah dengan Niat Baik: Berbicaralah dengan pengertian positif, dan bertanggung jawablah untuk berkomunikasi yang jujur dan lurus. Hindari gosip.
- Hidup di Saat Ini: Pusatkan perhatian pada saat ini dan kerjakan dengan sebaik-baiknya
- Komitmen: Penuhi janji dan kewajiban, laksanakan visi dan lakukan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
- Tanggung Jawab: Bertanggungjawablah atas tindakan Anda.
- Sikap Luwes dan Fleksibel: Bersikaplah terbuka terhadap perubahan atau pendekatan baru yang dapat membantu Anda memperoleh hasil yang diinginkan.
- Keseimbangan: Jaga keselarasan pikiran, tubuh, dan jiwa Anda. Sisihkan waktu untuk membangun dan memelihara tiga bidang ini.
- Guru yang seorang Quantum Teacher mempunyai ciri-ciri dalam berkomunikasi yaitu :
- Antusias : menampilkan semangat untuk hidup
- Berwibawa : menggerakkan orang
- Positif : melihat peluang dalam setiap saat
- Supel : mudah menjalin hubungan dengan beragam peserta didik
- Humoris : berhati lapang untuk menerima kesalahan
- Luwes : menemukan lebih dari satu untuk mencapai hasil
- Menerima : mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti
- Fasih : berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur
- Tulus : memiliki niat dan motivasi positif
- Spontan : dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
- Menarik dan tertarik : mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup peserta didik dan peduli akan diri peserta didik
- Menganggap peserta didik “mampu” : percaya akan keberhasilan peserta didik
- Menetapkan dan memelihara harapan tinggi : membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap peserta didik untuk berusaha sebaik mungkin
- Semua peserta didik diusahakan untuk memiliki modul/buku sumber belajar lainnya, dan buku yang bisa dipinjam dari Perpustakaan. Tidak diperkenankan guru mencatat/menyuruh peserta didik untuk mencatat pelajaran di papan tulis
- Dalam melakukan penilaian guru harus berorientasi pada :
- Acuan/patokan. Semua kompetensi perlu dinilai sesuai dengan acuan kriteria berdasarkan indikator hasil belajar.
- Ketuntasan Belajar. Ketuntasan belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggungjawakan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi berikutnya.
- Metoda penilaian dengan menggunakan variasi, antara lain
Tes
Tertulis : pertanyaan-pertanyaan tertulis
Observasi :
pengamatan kegiatan praktik
Wawancara :
pertanyaan-pertanyaan langsung tatap muka
Portfolio : Pengamatan melalui
bukti-bukti hasil belajar
Demonstrasi
: Pengamatan langsung kegiatan praktik/pekerjaan yang sebenarnya
- Kebijakan sekolah dalam KBM yang patut diperhatikan oleh guru :
- Guru wajib mengabsensi peserta didik setiap masuk kelas
- Masuk kelas dan keluar kelas tepat waktu. Jam pertama misalnya 07.30 dan jam terakhir harus pulang sama-sama setelah bel berbunyi. Pada jam istirahat tidak diperkenankan ada kegiatan belajar mengajar.
- Guru wajib membawa buku absen & daftar nilai, Silabus, RPP, program semester, modul/bahan ajar sejenisnya ketika sedang mengajar
- Selama KBM tidak boleh ada gangguan yang dapat mengganggu konsentrasi peserta didik. Misalnya guru/peserta berkomitmen bersama untuk tidak mengaktifkan HP ketika PBM berlangsung
- Guru harus mendukung kebijakan sekolah baik yang berlaku baik untuk dirinya sendiri maupun untuk peserta didik dan berlaku proaktif.
- Untuk pelanggaran oleh peserta didik maka hukuman dapat ditentukan secara musyawarah bersama peserta didik, namun untuk pelanggaran kategori berat sekolah berat menentukan kebijakan sendiri.
- Pengalaman belajar hendaknya menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran.
- Terdapat kegiatan membaca, menjelaskan, demonstrasi, praktek, diskusi, kerja kelompok, pengulangan kembali dalam menjelaskan dan cara lain yang bisa ditemukan oleh guru.
- Gunakan spidol warna-warni dalam membantu menjelaskan di papan tulis.
- Disarankan menggunakan media pendidikan seperti projector, bagan, dan sebagainya.
- Diperbolehkan belajar di luar kelas seperti di bawah pohon, dipinggir jalan
Siswa belajar : 10% dari
apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50%
dari apa yang di lihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90%
dari apa yang dikatakan dan lakukan (Vernon A. Magnessen, 1983). Ini
menunjukkan guru mengajar dengan ceramah, maka siswa akan mengingat dan
menguasai hanya 20% karena siswa hanya mendengarkan. Sebaliknya jika guru
meminta siswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkanknya maka akan mengingat
dan menguasai sebanyak 90%.
- Guru harus selalu menghargai setiap usaha dan hasil kerja siswa serta memberikan stimulus yang mendorong siswa untuk bernuat dan berpikir sambil menghasilkan kara dan pikiran kreatif. Ini memungkinkan siswa menjadi pembelajar seumur hidup. Untuk itu guru bisa menggunakan berbagai metoda dan pengalaman belajar melalui contoh yang konstekstual. Setiap kesuksesan dalam belajar siswa layak untuk dirayakan.
- Suasana belajar siswa, guru dapat mengarahkan kearah ke ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Suasana belajar juga melibatkan mental-fisik-emosi –sosial siswa secara aktif supaya memberi peluang siswa untuk mengamati dan merekam data hasil pengamatan, menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban, menjelaskan sambil memberikan argumentasi, dan sejumlah penalaran.
E. Penutup
Sekolah yang didirikan DePorter itu, menjadi pusat percontohan
tempat metode Quantum dipraktikkan. Remaja, karyawan, eksekutif
perusahaan, menjadi murid di sekolah ini. Tujuannya satu: menjadi manusia baru.
Itulah sebabnya Jack Canfielf, penulis buku Chicken Soup of the Soul
mengatakan, metode ini akan mengobarkan kembali api yang ada di dalam diri
Anda.
Penulis telah melakukan uji coba di SMK Y untuk melaksanakan
pengajaran model quantum ini, namun ternyata tidak semudah harapan dan
teori yang ditulis oleh DePorter, penulis mengalami hambatan antara lain :
1.
Ketika ada musik dalam pembelajaran, para guru merasa keberatan dan merasa
aneh. Mereka menganggap musik justru mengganggu konsentrasi
2.
Guru dan Siswa SMK Y tidak terbiasa mendengar musik klasik, instrument yang
lembut. Sehingga ketika musik dipaksakan di dengarkan di kelas, siswa malah
mengantuk dan guru merasa terganggu
3. Tidak
bisa selamanya guru berlaku manis, baik dan perhatian kepada siswa. Justru
sikap ini bisa diremehkan siswa. Jadi guru dalam hal ini harus lengkap
perangainya bisa marah namun juga bisa ramah.
Namun untuk penerapan di SMA Favorite di sebuah kota Anu dan di
sebuah Lembaga Bimbingan Belajar, sungguh Quantum Teaching
merupakan keberhasilan yang luar biasa antara guru, siswa dan sekolah/Lembaga
Bimbel dalam bersama-sama meraih puncak prestasi. Jika Anda menjadi guru apa
dan di sekolah mana saja silahkan mencoba menerapkan Quantum Teaching,
dan penulis ucapkan : Selamat menjadi Guru Quantum yang ‘kan menjadikan kelas “Bergairah
dan Menyenangkan”
Sumber :
Buzan, Tony, The Min Map Book, New York: Dutton, 1993
DePorter, Bobbi and Mike Hernacki, Quantum Learning, New York: Dell
Publishing, 2001
________. et. Al., Quantum Teaching, New York : dell Publishing, 2001.
Lozanov, George, Suggestology and Suggestopedia, Paris :
makalah yang disajikan kepada United Nations Educational Scientific and
Cultural Organization, 1087
Megensen, Vernon, Innovative Abstracks 5, 25 National
Institute for Staff and Organizational Development, University of Texas,
Austin, Texas, 1993
Quantum Learning, Melejitkan Prestasi Belajar
Oleh : Guruvalah
Metode pengajaran di sekolah atau Lembaga Bimbingan Belajar (LBB)
masih banyak yang kurang menekankan pada kegiatan belajar sebagai proses.
Metode pengajaran masih sering disajikan dalam bentuk pemberian informasi,
kurang didukung dengan penggunaan media dan sumber lainnya.
Kondisi ini yang mendorong Arni Arief Lamaka dan Chaerrun Nisa
untuk melakukan penelitian terhadap metode Quantum Learning dalam
pengajaran. Kedua siswi SMUN 5 Makassar ini meneliti keefektifan metode Quantum
Learning terhadap peningkatan prestasi belajar siswa di LBB Gama College, Makassar.
Tidak sia‑sia Arni dan Nisa melakukan penelitian itu. Karya mereka dinyatakan
sebagai pemenang pertama Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) 2002 bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Republika, 7/10/2002)
Quantum Learning, dalam pandangan kedua siswi ini, adalah seperangkat metode dan
falsafah belajar untuk semua umur. Ini mencakup aspek‑aspek penting dalam
program Neuralinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana
otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan
perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa
dan guru. Quantum Learning, dapat pula didefinisikan sebagai interaksi
yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Quantum
Learning adalah gabungan yang sangat seimbang antara bekerja dan bermain,
antara rangsangan internal dan eksternal," urainya.
Penelitian dilakukan terhadap siswa dari berbagai sekolah di Makassar yang belajar di lembaga ini. Pengambilan sampel
dilakukan secara acak ( random sampling). Jumlah populasi sebanyak
140 orang, sampel diambil 30 persen atau 30 orang.Teknik analisis yang
digunakan adalah perbandingan mean (rata‑rata). Dengan teknik ini, kata
kedua siswi itu, memungkinkan penelitian untuk membandingkan mean siswa yang
meningkat prestasinya atau menurun prestasinya dengan metode Quantum
Learning. Hasil penelitian dibagi dalam dua bagian: kuantitatif dan
kualitatif. Hasil kuantitatif adalah gambaran tentang keefektifan penggunaan
metode Quantum Learning terhadap peningkatan prestasi siswa di LBB Gama
College Makassar yang dinyatakan dalam angka. Hasil kualitatif adalah rumusan
hasil penelitian dalam bentuk pernyataan sebagai penguji hipotesis, yaitu
apakah metode Quantum Learning efektif digunakan sebagai metode dalan
meningkatkan prestasi siswa di LBB Gama College Makassar.
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa yang menjadi objek penelitian dapat meraih keberhasilan atau meningkat
prestasinya. Itu karena lembaga ini melibatkan banyak unsur dalam proses
belajar mengajar seperti penataan ruangan yang nyaman, penyajian musik pada
saat proses Belajar mengajar berlangsung. Ada komunikasi yang baik dan penggunaan
audio visual. Yang paling utama, menurut kedua siswi ini, ialah belajar
dengan durasi waktu yang relatif singkat karena menerapkan metode
pengajaran serta penyajian materi yang variatik dan inovatik. "Inilah yang
disebut seperangkat metode, yaitu Quantum Learning," jelasnya.
Dari serangkaian penelitian tersebut, Arni dan Nisa menyimpulkan
bahwa penerapan metode Quantum Learning efektif terhadap
peningkatan prestasi belajar siswa bila dibandingkan dengan metode ceramah.
Kedua siswi ini juga menyimpulkan, sebagian besar siswa di LBB Gama College
menanggapi metode Quantum Learning sebagai salah satu bentuk pencapaian
kualitas belajar yang potensial, karena mampu menciptakan belajar menjadi
nyaman dan menyenangkan
Konsep Quantum Learning
Quantum Learning merupakan metoda pengajaran maupun pelatihan yang
menggunakan metodologi berdasarkan teori‑teori pendidikan seperti Accelerated
Learning (Lozanov), Multiple Intelligences (Gardner), Neuro Linguistic
Programming atau NLP (Grinder & Bandler), Experential Learning (Hahn),
Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson & Johnson) dan Elements of
Effective Instruction (Hunter) menjadi sebuah paket multisensori, multi
kecerdasan dan kompatibel dengan cara bekerja otak yang mampu meningkatkan
kemampuan dan kecepatan belajar. Percepatan belajar (accelerated learning) dikembangkan
untuk menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan
secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun
bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian, modalitas belajar serta
keterlibatan aktif dari peserta.
Konsep kunci dalarn Quantum Learning dari berbagai teori dan
strategi belajar yang digunakan antara lain:
a.
Teori otak kanan kiri
b.
Teori otak triune (3 in 1)
c.
Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik)
d.
Teori kecerdasan ganda
e.
Pendidikan holistic (menyeluruh)
f.
Belajar berdasarkan pengalaman
g.
Belajar dengan simbol (metaphoric learning)
h.
Simulasi / permainan
i.
Peta Pikiran (mind mapping)
Paradigma Belajar Model Quantum Learning
Dalam belajar model Quantum Learning agar dapat berjalan
dengan benar ini paradigma yang harus dianut oleh siswa dan guru adalah sebagai
berikut :
a.
Setiap orang adalah guru dan sekaligus murid sehingga
bisa saling berfungsi sebagai fasilitator
b.
Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam
suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal,
penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang
baik sehingga peserta merasa santai dan relak.
c.
Setiap orang mempunyai gaya
belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan
alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman
dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan
oleh fasilitator.
d. Modul
pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana
dan lebih banyak kesuatu kasus nyata atau aplikasi langsung.
e.
Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk
simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih
banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol.
f. Kunci
menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background)
musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh
positip dalarn proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven,
dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress,
meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik
menjadikan orang lebih cerdas (Jeannete Vos)
g.
Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap
dan ingat sebanyak 78%
g. Metoda
peran dimana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan
pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja
(pembelajaran orang dewasa)
h. Sistim
penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian
diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan (Jeannette
Vos)
i.
Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun
umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil
riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100
anak ditunjuk oleh periset selam sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata
menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif.
Untuk meningkatkan percepatan belajar dan efisiensi waktu dan
melejitkan prestasi belajar tidak ada salahnya di lembaga-lembaga pendidikan
perlu mengembangkan metode belajar dengan konsep Quantum Learning.
Apakah Anda para guru/instruktur tertarik untuk mencobanya?.
MENGEMBANGKAN SMP NEGERI 21 SEBAGAI SMP
KETERAMPILAN DENGAN MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN UNTUK
MENGANTISIPASI ERA GLOBAL
Oleh :
Hj. Endang Sri Suntari, M. Pd *)
*) Hj. Endang Sri Suntari, M. Pd adalah Kepala SMK Negeri 21 Samarinda
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan
di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi tiga tantangan.
Tantangan pertama, sebagai dampak dari krisis ekonomi yang sekarang masih
dirasakan dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan
hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Tantangan kedua adalah
mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber
daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.
Tantangan ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu
dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat
mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman
kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat.
Hingga saat ini pula pendidikan
nasional masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol (1) masih
rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan
relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping
belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di
kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah
geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur
Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan
penduduk ataupun antargender.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih
sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin, antara lain, dari hasil studi
kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh
organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan
bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta
studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi
untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan
ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya
berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta
MANAJEMEN
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh : Falah Yunus *)
A. Pendahuluan
Memasuki abad ke 21 ini
Indonesia dihadapkan pada masalah yang rumit seperti masalah reformasi dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa, masalah krisis yang berkepanjangan dan
hingga saat ini belum tuntas, masalah kebijakan makro pemerintah tentang
sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberdayakan masyarakat. Kita
juga menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental
dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global
tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT,
WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT,
IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong
perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat persaingan yang amat
ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly)
menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi pada
pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented)
beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi
(protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).
Untuk itu perlu mengantisipasi keadaan
ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai bidang dengan pengembangan
Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan, menurut UNDP.
Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing ke 46 yang
paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia ke-27. Phillipina
ke 32, dan Tailand ke 34, dan termasuk negara yang paling korup didunia.(Indra
Jati Sidi, 2000). Menurut Survei Human Development Index
sebagaimana diungkapkan oleh Yutata Hadi Andoyo Direktur Direktorat
Peguruan Tinggi Swasta Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, kualitas SDM
Indonesia saat ini menduduki peringkat ke 105. Untuk ilustrasi , perangkat SDM
di kawasan Asia Tenggara yaitu Singapura menduduki peringkat 25, Brunei 26,
Malaysia 56, Thailand 57 dan Pilipina 77. (Jawa Post, 11 Juli 2000).
Dalam upaya peningkatan SDM, peranan
pendidikan cukup menonjol. Oleh karena itu sangat penting bagi pembangunan
nasional untuk memfokuskan peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu
akan diperoleh pada sekolah yang bermutu, dan sekolah yang bermutu akan
menghasilkan SDM yang bermutu pula.
Sementara itu rendahnya mutu SDM
signifikan dengan rendahnya mutu pendidikan tinggi, sebagaimana data yang
dipaparkan oleh Dr Ibrahim Musa MA, Dosen FKIP Universitas Terbuka sesuai
survey Asia Week, mengungkap rendahnya peringkat universitas terbaik di tanah
air diantara universitas-universitas terbaik di Asia Pasifik. Dari 77
universitas yang disurvey, empat universitas terbaik dalam standar Indonesia
menempati urutan bawah, UI peringkat ke-61, UGM ke-68, Undip ke-73, dan Unair
ke-75 (Republika, 22/4/02).
Berkaitan dengan mutu, Joseph. M.
Juran yang pikiran-pikirannya begitu terkenal dan berpengaruh di Jepang
sehingga pada tahun 1981 dia dianugerahi Order of the Sacred Treasure
oleh Kaisar Jepang, mengemukakan bahwa 85% dari masalah-masalah mutu terletak
pada manajemen (pengelolaan), oleh sebab itu sejak dini manajemen haruslah
dilaksanakan seefektif dan seefisien mungkin. (M. Jusuf Hanafiah
dkk, 1994:101). Salah satu bentuk manajemen yang berhasil dimanfaatkan dalam
dunia industri dan bisa diadaptasi dalam dunia pendidikan adalah TQM (total
quality management) pada sistem pendidikan yang sering disebut sebagai: Total
Quality Management in Education (TQME).
B. Konsep
Manajemen Peningkatan Mutu Pada Industri Modern
Manajemen sekolah
seyogyanya memahami pula perkembangan manajemen sistem industri modern,
sehingga mampu mendesain, menerapkan, mengendalikan, dan meningkatkan kinerja
sistem pendidikan yang memenuhi kebutuhan manajemen sistem industri
modern. Hal ini dimaksudkan agar setiap lulusan dari sekolah mampu dan cepat
beradaptasi dengan kebutuhan sistem industri modern. Dengan demikian sebelum
membahas tentang sistem pendidikan di sekolah, perlu diketahui tentang konsep
dasar sistem industri modern yang akan dipergunakan sebagai landasan utama
untuk membahas penerapan TQME pada sistem pendidikan modern di
Indonesia.
Total quality
manajement merupakan
suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya
saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga
kerja, proses dan lingkungannya. (Fandi, 1995 dalam M.N Nasution,
2001:28). Untuk mencapai usaha tersebut digunakan sepuluh unsur utama TQM,
yaitu fokus pada pelanggan, obsesi terhadap qualities, pendekatan ilmiah,
komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan kerkesinambungan, pendidikan
dan latihan, kebebasan terkendali, kesatuan tujuan, dan ketertiban serta
pemberdayaan karyawan. (Goetsch dan Davis, 1994 dalam M.N. Nasution,
2000:29-30). Ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu : kepuasan pelanggan,
respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan
berkesinambungan (Hensler dan Brunnel dalam M.N Nasution, 2001:33-34).
Pada dasarnya proses
industri harus dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continuous
industrial process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak
adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses
produksi, sampai distribusi kepada konsumen. Seterusnya, berdasarkan informasi
sebagai umpan-balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (pelanggan) itu dapat
dikembangkan ide-ide kreatif untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki
produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini. (Vincent
Gaspersz,2000:1)
Agar peningkatan proses industri dapat
berjalan secara konsisten, maka dibutuhkan manajemen sistem industri, yang pada
umumnya akan dikelola oleh lulusan perguruan tinggi. Konsep sistem industri dan
manajemen sistem industri ditunjukkan dalam Gambar 1. Dari Gambar 1 tampak bahwa
manajemen sistem industri terdiri dari dua konsep, yaitu: (1) konsep manajemen
dan (2) konsep sistem industri. Suatu sistem industri mengkonversi input
yang berasal dari pemasok menjadi output untuk digunakan oleh pelanggan,
sedangkan manajemen sistem industri memproses informasi yang berasal dari
sistem industri, pelanggan, dan lingkungan melalui proses manajemen untuk
menjadi keputusan atau tindakan manajemen guna meningkatkan efektivitas dan
efisiensi sistem industri.
Berdasarkan
konsep manajemen sistem industri modern di atas, maka setiap lulusan perguruan
tinggi yang akan bekerja dalam sistem industri harus memiliki kemampuan solusi
masalah-masalah industri yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dikuasainya
berdasarkan informasi yang relevan agar menghasilkan keputusan dan tindakan
untuk meningkatkan kinerja sistem industri tersebut. (Vincent Gaspersz,2000:1)
C.
Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Ada
tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu : kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational
production function atau input-input analisis yang tidak consisten;
2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta
masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat
minim (Husaini Usman, 2002).
Berdasarkan
penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan
maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
(1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management)
dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya
peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada
partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi
interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community
learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning
paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner
menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada tanggal 2 Mei 2002,
bertepatan hari pendidikan nasional, pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan
nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan
pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi
pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life
skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan
kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat
memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat
memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati
kesejahteraan dunia akhirat
Untuk
merealisasikan kebijakan diatas maka sekolah perlu melakukan manajemen
peningkatan mutu. Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) ini merupakan suatu model
yang dikembangkan di dunia pendidikan, seperti yang telah berjalan di Sidney,
Australia yang mencakup : a) School Review, b) Quality Assurance, dan c)
Quality Control, dipadukan dengan model yang dikembangkan di Pittsburg,
Amerika Serikat oleh Donald Adams, dkk. Dan model peningkatan mutu sekolah
dasar yang dikembvangkan oleh Sukamto, dkk. Dari IKIP Yogyakarta (Hand Out,
Pelatihan calon Kepala Sekolah).
Manajemen
peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu
pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada
ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen
sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam
Peningkatan Mutu yang selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya a)
mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun
administrasi, b) melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk menindak
lanjuti diagnose, c) memerlukan partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru,
staf administrasi, siswa, orang tua dan pakar.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki
prinsip :
1. Peningkatan mutu
harus dilaksanakan di sekolah
2. Peningkatan mutu
hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
3. Peningkatan mutu
harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun
kuantitatif
4. Peningkatan mutu
harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
5. Peningkatan mutu
memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua
dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon kepala sekolah :2000)
Adapun penyusunan program
peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review,
b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control.
Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan
sebagai berikut :
a. School review
Suatu proses dimana
seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga
profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta
mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan
berikut :
1. Apakah yang dicapai sekolah
sudah sesuai dengan harapan orang tua
siswa dan
siswa sendiri ?
2. Bagaimana prestasi siswa ?
3. Faktor apakah yang menghambat
upaya untuk meningkatkan mutu ?
4. Apakah faktor-faktor
pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan rumusan tentang
kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi
untuk pengembangan program tahun mendatang.
b. Benchmarking :
Suatu kegiatan untuk
menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking
dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga.
Tiga pertanyaan mendasar
yang akan dijawab oleh benchmarking adalah :
1. Seberapa baik
kondisi kita?
2. Harus menjadi
seberapa baik?
3. Bagaimana cara
untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang
dilaksanakan adalah :
1. Tentukan fokus
2. Tentukan
aspek/variabel atau indikator
3. Tentukan standar
4. Tentukan gap
(kesenjangan) yang terjadi.
5. Bandingkan
standar dengan kita
6. Rencanakan target
untuk mencapai standar
7. Rumuskan
cara-cara program untuk mencapai target
c. Quality assurance
Suatu teknik untuk
menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya.
Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada
proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan, dan melembaga,
menjadi subsistem sekolah.
Quality assurance akan menghasilkan informasi, yang :
1. Merupakan umpan
balik bagi sekolah
2. Memberikan
jaminan bagi orang tua siswa bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan
terbaik bagi siswa.
Untuk melaksanakan quality
assurance menurut Bahrul Hayat dalam hand out pelatihan Calon kepala sekolah
(2000:6), maka sekolah harus :
1. Menekankan pada
kualitas hasil belajar
2. Hasil kerja siswa
dimonitor secara terus menerus
3. Informasi dan
data dari sekolah dikumpulkan dan dianalisis untuk memperbaiki proses di
sekolah.
4. Semua pihak mulai
kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan juga orang tua siswa harus
memiliki komitmen untuk secara bersama mengevaluasi kondisi sekolah yang kritis
dan berupaya untuk
memperbaiki.
d. Quality control
Suatu sistem untuk
mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan
standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan
pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
D. Manajemen Mutu Terpadu Di Sekolah
Manajemen Mutu Terpadu
yang diterjemahkan dari Total Quality Management (TQM) atau disebut pula
Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan mutu pendidikan melalui
peningkatan mutu komponen terkait. M. Jusuf Hanafiah, dkk (1994:4)
mendefinisikan Pengelolaan Mutu Total (PMT) adalah suatu pendekatan yang
sistematis, praktis, dan strategis dalam menyelenggarakan suatu organisasi,
yang mengutamakan kepentingan pelanggan. pendekatan ini bertujuan untuk
meningkatkan dan mengendalikan mutu. Sedang yang dimaksud dengan Pengeloaan Mutu
Total (PMT) Pendidikan tinggi (bisa pula sekolah) adalah cara mengelola lembaga
pendidikan berdasarkan filosofi bahwa meningkatkan mutu harus diadakan dan
dilakukan oleh semua unsur lembaga sejak dini secara terpadu berkesinambungan
sehingga pendidikan sebagai jasa yang berupa proses pembudayaan sesuai dengan
dan bahkan melebihi kebutuhan para pelanggan baik masa kini maupun yang akan
datang.
Komponen yang terkait
dengan mutu pendidikan yang termuat dalam buku Panduan Manajemen Sekolah (2000:
191) adalah 1) siswa : kesiapan dan motivasi belajarnya, 2) guru :
kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan personal), dan kerjasamanya
(kemampuan social). 3) kurikulum : relevansi konten dan operasionalisasi proses
pembelajarannya, 4) dan, sarana dan prasarana : kecukupan dan keefektifan dalam
mendukung proses pembelajaran, 5) Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan
perguruan tinggi) : partisipasinya dalam pengembangan program-program
pendidikan sekolah. Mutu komponen-komponen tersebut di atas menjadi fokus
perhatian kepala sekolah.
Adapun prinsip dari MMT
dalam buku tersebut yaitu selama ini sekolah dianggap sebagai suatu Unit
Produksi, dimana siswa sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah sebagai hasil
produksi. Dalam MMT sekolah dipahami sebagai Unit Layanan Jasa, yakni
pelayanan pembelajaran.
Sebagai unit layanan
jasa, maka yang dilayani sekolah (pelanggan sekolah ) adalah: 1) Pelanggan
internal : guru, pustakawan, laboran, teknisi dan tenaga administrasi, 2)
Pelanggan eksternal terdiri atas : pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder
(orang tua, pemerintah dan masyarakat), pelanggan tertier (pemakai/penerima
lulusan baik diperguruan tinggi maupun dunia usaha).
E. Permasalahan
Masalah-masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan
sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah, dkk adalah : pertama sikap mental para
pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin
bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang
memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan
berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
Masalah
kedua adalah tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua
program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan.
Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan
mutu.
Masalah
ketiga adalah gaya kepemimpinan yang tidak mendukung. Pada umumnya pimpinan
tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan kerja stafnya.
Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa motivasi. Masalah keempat
adalah kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan
strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang
kurang terbuka. Prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awal belum
membudaya. Pelaksanaan pada umumnya akan membantu sustu kegiatan, kalau sudah
ada masalah yang timbul. Hal inipun merupakan kendala yang cukup besar dalam
peningkatan dan pengendalian mutu. (M. Jusuf Hanafiah dkk, 1994:8).
F. Analisis Masalah Dan Pemecahan
Masalah
Sikap
mental bawahan yang bekerja bukan atas tanggung jawab, tetapi hanya karena
diperintah atasan akan membuat pekerjaan yang dilaksanakan hasilnya tidak
optimal. Guru hanya bekerja berdasarkan petunjuk dari atas, sehingga guru tidak
bisa berinisitiaf sendiri. Sementara itu pimpinan sendiri punya sikap mental
yang negatif dimana ia tidak bisa memberikan kesempatan bagi bawahan untuk
berkarir dengan baik, bawahan harus mengikuti pada petunjuk atasan, bawahan yang
selalu dicurigai, bawahan yang tidak bisa bekerja sesuai dengan caranya.
Kenyatan ini karena profil kepala sekolah yang belum menampilkan gaya entrepeneur
dan gaya memimpin situasional.
Penelitian
Usman (1996) menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS) di SMK mengalami kegagalan karena kepala
sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini
karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat
sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan
mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan potensi
sekolah. Akibatnya, setiap hierarki yang berada di bawah kekuasaan bersikap
masa bodoh, apatis, diam supaya aman, menunggu perintah, tidak kreatif dan tidak
inovatif, kurang berpartisipasi dan kurang bertanggung jawab, membuat laporan asal
bapak senang dan takut mengambil resiko.
Kelemahan
sistem sentralistik dengan komunikasi dari atas ke bawah lebih menekankan
fingsinya sebagai line of command dan tidak fungsinya sebagai line of
services, hal ini tampaknya merintangi perkembangan-perkembangan potensi
SDM untuk memcahkan masalah-masalah khusus on the spot (Sutisna, 1972
dalam Husaini Usman, 2001).Hal tersebut merupakan penghalang dalam pelaksanaan
manajemen mutu pendidikan, maka solusinya adalah dengan diadakannya penerapan
pendidikan yang tidak sentralistik, sehingga pola manajemen pendidikan dapat
disesuaikan dari pola lama ke pola baru.
Program peningkatan mutu pendidikan
tidak akan jalan jika setelah diadakannya monitoring dan evaluasi tanpa
ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan (controlling) dalam manajemen berguna
untuk membuat agar jalannya pelaksanaan manajemen mutu sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bertujuan untuk menilai kelebihan
dan kekurangan. Apa-apa yang salah dintinjau ulang dan segera diperbaiki.
Tidak adanya tindak lanjut bisa disebabkan karena rendahnya etos kerja para
pengelola pendidikan, iklim organisasi yang tidak menyenangkan. Mengenai etos
kerja Pidarta (1998), mengutip hasil penelitian Internasional bahwa Indonesia
sebagai bangsa termalas nomor tiga dari 42 negara termalas di dunia. Temuan
Pidarta tersebut mendukung temuan Muchoyar (1995, dan Rasyid, 1995 dalam
Husaini Usman) yang menyatakan etos kerja dosen dan karyawan IKIP cenderung
rendah.
Agar program dapat dimonitor dan
ditindaklanjuti maka perlu melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan partisipatif ialah suatu cara
pengambilan keputusan yang terbuka dan demokratis yang melibatkan seluruh
stakeholders di dewan sekolah. Asumsinya jika seseorang diundang untuk
pengambilan keputusan, maka ia kan merasa dihargai, dilibatkan, memiliki,
bertanggung jawab. Pelibatan stakeholders didasarkan keahlian, batas
kewenangan, dan relevansinyan dengan tujuan pengambilan keputusan.
Gaya
kepemimpinan yang tidak mendukung, akan mengakibatkan gagalnya pelaksanaan
manajemen peningkatan mutu. Kepala sekolah harus senantiasa memahami sekolah
sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih
berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader maka
kepala sekolah harus :
a. Lebih
banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa
b. Lebih
bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada
kekuasaan atau SK.
c. Senantiasa
menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya
menciptakan rasa takut.
d. Senantiasa
menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu
sesuatu.
e. Senantiasa
mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan
f. Senantiasa
memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang,
bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba
kekurangan(Boediono,1998).
Menurut
Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah
merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis
manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan
menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input
manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan
sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang diharapkan.
Secara
umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut
(Slamet, PH,2000) :
Kepala
sekolah: (a) memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang
harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh
(strategi); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh
sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil
keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki
kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu
menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya;
(e) memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari
orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran
terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan
nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu
ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi,
arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
1.
Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara
berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena
itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu
berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat),
berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin
(tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu
akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir
"sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir
interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif),
dan berpikir sinkretisme.
2.
Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan
oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang
disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana
(diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk
merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan
perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja,
dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik
kepada anak buahnya.
3.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer
(mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin
(memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat
untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia
(mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat
situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi),
pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah),
dan pembangkit motivasi (menyemangatkan). Catatan: manajer tangguh,
menurut hasil-hasil penelitian kelas kakap dunia, paling tidak memiliki
sejumlah kompetensi seperti berikut. Menurut Enterprising Nation (1995),
manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu: (a) people skills,
(b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and adaptable
to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability
to solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high
personal standards. Sedang American Management Association (1998)
menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency
orientation, (b) proactivity, (c) concern with impact,
(d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing
others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i)
self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual
objectivity, (l) positive regard, (m) managing group
process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence,
(p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of
oral presentation.
4.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas
(apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat
diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan
kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas,
pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb; (b) dimensi proses,
meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program,
pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan
proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu,
tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan
personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri,
pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
5.
Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan
antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari
sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan
dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu
melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk
menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan
mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada
persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
6. Kepala
sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta
membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan
solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim
kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
7.
Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan
memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru,
meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah
mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya
sekiranya hasilnya salah.
8.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah
belajar .
9.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen
Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan
manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen
Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah). Untuk lebih jelasnya, lihat
Gambar 2 "Pergeseran Kebijakan dari Manajemen Berbasis Pusat menuju
Manajemen Berbasis Sekolah" (Slamet PH, 2000).
10.
Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar
sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung
proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar
dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya
dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
11.
Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000),
terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan
sumberdaya.
Kurangnya rasa memilikipada para
pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para
pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan
sesuatu secara benar dari awalï belum membudaya merupakan penghalang dalam
pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Untuk itu perlu ditanamkan kepada warga
sekolah untuk mempunyai asa memiliki bangga terhadap sekolahnya. Hal ini bisa
terlaksana jika para warga sekolah itu merasa puas terhadap pelayanan sekolah.
Dalam MMT (Manajemen Mutu Terpadu)
keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal
maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan
sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah
dikatakan berhasil jika :
1. Siswa puas dengan
layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan
perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan
sekolah. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah.
2. Orang tua siswa
puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya
puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun
program-program sekolah.
3. Pihak
pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena
menerima lulusan dengan kualitas sesuai harapan
4. Guru dan karyawan
puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan
antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. (Panduan
Manajemen Sekolah, 2000:193).
G. Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
penulis disimpulkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan rendahnya mutu SDM
pada era otomomi daerah dan menyongsong era global, maka perlu bagi pemerintah
untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dalam perbaikan mutu pendidikan
tersebut manajemen mutu yang diadaptasi dari Total Quality Management
yang ada Industri Modern, layak untuk diadaptasai dalam Manajemen Pendidikan.
Pada prinsipnya manajemen mutu ini berbasis sekolah memberdayakan semua
komponen sekolah, dan sekolah sebagai unit produksi yang melayani siswa, orang
tua, pihak pemakai/penerima lulusan, dan guru/karyawan.
2. Masalah yang dihadapi
dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu adalah sikap mental para pengelola
pendidikan, tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program, gaya kepemimpinan
yang tidak mendukung, kurangnya rasa memiliki para pelaksana pendidikan.
Dan belum membudayanya prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awal.
Kendala-kendala itu disebabkan oleh adanya kepemimpinan yang tidak berjiwa
entrepeneur dan tidak tangguh, adanya sentralistrik manajemen pendidikan, dan
rendahnya etos kerja apara pengelola, kurangnya melibatkan semua pihak untuk
berpartisipasi.
Dari kesimpulan tersebut
penulisan ini perlu penulis sarankan sebagai berikut :
1. Manajemen
Peningkatan Mutu yang sering di seminarkan dan dikenalkan pada dunia
pendidikan, ternyata banyak warga sekolah terutama guru yang belum tahu, kenal,
dan memahami. Kebanyakan hanya diketahui oleh kepala sekolah, dan calon kepala
sekolah. Disarankan agar hal ini disebarluaskan dan betul-betul bisa
dilaksanakan di sekolah-sekolah.
2. Perlu
ditingkatkan etos kerja, motivasi, kerjasama tim, moral kerja yang baik, punya
rasa memiliki, mau bekerja keras agar Manajemen Mutu Pendidikan dapat
terlaksana secara optimal sehingga mampu menghasilkan Mutu SDM. Disamping itu
diperlukan seorang kepala sekolah yang berjiwa pemimpin dengan visi yang baik.
Samarinda, 12
April 2003
DAFTAR
PUSTAKA :
Anonim, 2000. Panduan
Manajemen Sekolah, Depdiknas, Dikmenum
Anonim, 2000. Manajemen
Mutu Terpadu dalam Pendidikan/Kultur Sekolah, Depdiknas, hand out pelatihan
calon kepala sekolah, Direktorat Sekolah lanjutan Pertama, 2000
Gaspersz, Vincent. 2000. Penerapan
Total Management In Education (TQME) Pada Perguruan Tinggi di Indonesia, Jurnal
Pendidikan (online), Jilid 6, No. 3 (http://www.ut.ac.id
diakses 20 Januari 2001).
Hanafiah, M. Jusuf,
dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri
Nasution, MN, 2000. Manajemen
Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta
Slamet, PH. 2000. Karakteristik
Kepala Sekolah Yang Tangguh, Jurnal Pendidikan, Jilid 3, No. 5
(online) (http://www.ut.ac.id diakses 20
Januari 2001).
Usman, Husaini, Peran
Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik Menuju Sistem
Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8, Nomor
1.
C. Solusi dengan
menggunakan (a) analisis SWOT, dan (b) pendekatan pola kerja
terpadu, sebagai berikut :
ANALISIS SWOT PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI
Internal
Eksternal
|
S (Strenghts)
1.
Sarana dan prasarana
penunjang
2.
Sebagian SDM pengajar
berkualitas
3.
Kualitas mahasiswa cukup
tinggi
4.
Jumlah fakultas banyak
5.
Jumlah lulusan yang dihasilkan
|
W (Weaknesses)
1.
Sarana dan prasarana yang
tidak dioperasikan secara otimal
2.
Sebagian kecil SDM pengajar
tidak berkualitas
3.
Rendahnya mutu perkuliahan
4.
Pertikaian di perguruan tinggi
5.
Belum ada perguruan tinggi
yang berbnetuk BUMN
|
O (Opportunities)
1.
Otonomi kependidikan daerah
2.
Kebutuhan SDM pada era
globalisasi
3.
Kebutuhan akan dunia kerja
4.
Peluang untuk wirausaha
5.
Era otonomi menuntut
pengembangan SDM dari
daerah
|
Strategi S-O
1.
Perbanyak bimbingan belajar
agar mahasiswa menjadi lulusan
yang berkualitas
2.
Menggalakkan seminar
pelatihan wirausaha
|
Strategi W-O
1.
Meningkatkan mutu perkuliah
an
sehingga menghasilkan lulus
an
yang siap pakai
2.
Menggalakkan metode kuantum
pada perkuliahan
|
T (threats)
1.
Pemahaman masyarakat yang
rendah terhadap perguruan
tinggi
2.
Subsidi yang tidak tepat
sasaran
3.
Pendapatan masayarakat
yang rendah
4.
Pengawasan yang rendah
masyarakat dan pemerintah
kepada perguruan tinggi
5.
Terbatasnya peluang kerja
|
Strategi S-T
1. Meningkatkan
pengawasan baik
dari
masyarakat maupun
pemerintah
agar mahasiswa tetap
berkualitas
2.
Meningkatkan pemahaman
stakeholder
terhadap eksistensi
perguruan tinggi
|
Strategi W-T
4 - 3
1.
Mengadakan akreditasi baik
self
accreditation maupun
independent acreditation
2.
Melaksanakan otonomi
kependidikan
|
Selanjutnya diadakan pembobotan dari strategi yang telah
ditentukan dengan kriteria di bawah ini:
TABEL KRITERIA PEMILIHAN
ALTERNATIF (ReSBaK )
KRITERIA
BOBOT
|
REALISTIS
(R)
|
SDM
(S)
|
BAIK
(Ba)
|
KEWENANGAN
(K)
|
5
|
Sangat Realistis
|
Sangat Tersedia SDM
|
Sangat Baik
|
Sangat Berkewenagan
|
4
|
Realistis
|
Tersedia SDM
|
Baik
|
Berkewenangan
|
3
|
Netral
|
Netral
|
Nertal
|
Netral
|
2
|
Tidak Tersedia
|
Tidak tersedia SDM
|
Tidak Baik
|
Tidak Berkewenangan
|
1
|
Sangat Tidak Tersedia
|
Sangat Tidak Tersedia
SDM
|
Sangat Tidak Baik
|
Sangat
Tidak Berkewenangan
|
Langkah terakhir diadakan voting dari beberapa pendapat orang yang
ahli dan berkompeten hasilnya sebagai berikut :
|
MODEL-MODEL DALAM
PENGAJARAN
UNTUK MEMBUAT PELAJAR
BELAJAR MANDIRI
Di SMK Negeri Y Samarinda
Oleh : FALAH Y.
A. Pendahuluan
Sudah 14 tahun saya menjadi guru SMK Negeri Y Samarinda, sebuah
sekolah kejuruan yang banyak diminati, disegani, difavoriti warga Samarinda.
Selain itu sebagai sekolah kejuruan yang dianggap senior maka sekolah ini
juga merupakan rujukan bagi sekolah kejuruan swasta yang serumpun bidang
keahlian nya di Samarinda dan sekitarnya. Kepala sekolah, guru-guru dari luar
sering berkonsultasi ke sekolah ini hanya untuk mengembangkan sekolahnya dan
menyamakan persepsi dalam pendidikan dan pengajaran.
Sebagai
sekolah kejuruan, sekolah ini tergolong telah mampu mengeluarkan lulusan yang
banyak di serap di dunia kerja maupun kuliah di perguruan tinggi baik negeri
maupun swasta. Secara persisnya data ini belum terkaver mengingat sekolah ini
tidak memiliki data tentang keadaan lulusan untuk lima tahun terakhir ini. Namun
sebagai guru di sini, penulis sering bertemu para alumni ini bekerja di
berbagai instansi, perusahaan, dan kantor-kantor juga sering menemui para siswa
yang kuliah di Unmul maupun perguruan tinggi swasta lainnya, serta beberapa
alumni yang berwiraswasta.
Dalam soal belajar
mengajar saya tidak menemukan hal yang istimewa, sekolah ini tetap menggunakan
kegiatan belajar mengajar model Ceramah/kuliah. Selanjutnya diskusi
kelompok, latihan (praktikum), dan terakhir penugasan oleh guru. Jika siswa
mempunyai prestasi baik dalam belajar itu disebabkan dasarnya memang sudah
baik, misalnya NEM
yang digunakan syarat untuk masuk ke sekolah ini rata-rata baik, selain itu
mereka punya kemauan dan motivasi untuk belajar. Di sini guru dalam mengajar
tidak terlalu repot, tidak terbeban, tidak merasa kesulitan, walau dengan
persiapan seadanya dan dengan metode yang paling sederhana sekalipun.
Di sekolah ini dalam
pembagian kelas telah dikelompokkan atas rangking prestasi belajar, pada siswa
yang prestasi belajarnya baik maka dikelompokkan pada kelas unggulan, rangking
berikutnya di kelompok kelas berikutnya dan seterusnya.
Kelas unggulan merupakan
siswa yang mampu mandiri dalam belajar daripada kelas yang lain di bawahnya,
hal ini disebabkan kesadaran siswa yang tinggi disertai motivasi belajar yang
tinggi serta karena kemampuan mereka yang baik disertai dengan mereka yang
dikumpulkan dengan teman-teman yang baik sehingga punya daya saing yang hebat.
Namun secara umum para siswa belum mampu mandiri dalam belajar mereka masih
bergantung pada guru untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Dengan mengingat rasa
keadilan dalam memberikan pelayanan pada siswa serta berdasar pada salah satu
kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM dengan
konsep menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang
akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang
diberdayakan, maka tulisan ini difokuskan untuk membantu guru-guru dalam
membenahi pengajaran agar membuat siswa menjadi mandiri dalam belajar.
B. Hasil Pengamatan
Dalam
pengamatan penulis pola umum mengajar guru-guru di SMK Negeri Y Samarinda
adalah : 1) Ceramah; 2) Diskusi kelompok; 3) penugasan, 4) latihan (demonstrasi).
1. Metode Ceramah
Pengajaran menggunakan metode ceramah telah mendominasi dalam
kegiatan pengajaran di SMK Negeri Y Samarinda. Metode ceramah /kuliah/penuturan
merupakan metode mengajar yang konvensional, karena metode ini sudah sejak dulu
digunakan sebagai alat komunikasi pengajaran antara guru dengan siswa. Meskipun
metode ini banyak menuntut keaktifan guru daripada siswa, namun metode ini
tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pengajaran. Apalagi
pada sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang dan sekolah-sekolah di daerah
terpencil (pedalaman).
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (1996:109-110), “Metode ceramah
adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan penuturan atau
penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa.
Kelebihan metode ceramah
- Guru mudah menguasai kelas.
- Mudah mengorganisasikan
tempat duduk/kelas.
- Dapat diikuti oleh jumlah
siswa besar.
- Mudah mempersiapkan dan
melaksanakannya.
- Guru mudah menerangkan
pelajaran dengan baik.
a. Kelemahan
metode ceramah
- Mudah menjadi verbalisme
(pengertian kata-kata)
- Yang visual menjadi rugi,
yang auditif (mendengar) lebih besar menerimanya.
- Bila selalu digunakan dan
terlalu lama, membosankan.
- Guru menyimpulkan bahwa siswa
mengerti dan tertarik pada ceramahnya, ini sukar sekali.
- Menyebabkan siswa menjadi
pasif.
Dalam praktiknya, guru dalam mengajar tidak bisa hanya menggunakan
metode ceramah saja, tapi dikombinasikan dengan metode-metode mengajar lainnya.
Misalnya metode ceramah biasanya dikombinasikan dengan tanya jawab dan
penugasan, sedang untuk metode latihan dikombinasi dengan ceramah dan demonstrasi.
2.
Metode Latihan
Metode latihan digunakan di SMK Negeri Y Samarinda terutama untuk
pelajaran-pelajaran yang memerlukan ketrampilan (skill) seperti
pelajaran akuntansi, komputer, stenografi, penjualan barang, korespondensi,
mengetik dan sebagainya. Untuk pelajaran Matematika, Bahasa Inggris sering pula
menggunakan metode ini. Metode latihan atau disebut juga metode training,
merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan
tertentu. Juga sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik.
Selain itu, metode ini dapat juga digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan,
ketepatan, kesempatan dan keterampilan.
Sebagai suatu metode yang diakui banyak mempunyai kelebihan, juga
tidak dapat disangkal bahwa metode latihan mempunyai beberapa kelemahan. Maka
dari itu, guru yang ingin mempergunakan metode latihan ini kiranya tidak salah
bila memahami karakteristik metode ini.
Syaiful Bahri Djamarah (1996:108-109), merinci kelebihan dan
kelemahan metode latihan sebagai berikut:
Kelebihan metode latihan
a. Untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf,
kata-kata atau kalimat, membuat alat
- alat, menggunakan alat-alat (mesin permanen dan elektrik), dan terampil
menggunakan peralatan olah raga.
b. Untuk memperoleh kecakapan mental seperti dalam perkalian, menjumlah,
pengurangan, pembagian, tanda
-tanda (simbol), dan sebagainya.
c.Untuk memperoleh kecakapan dalam bentuk asosiasi yang dibuat, seperti hubungan
huruf-huruf dalam ejaan,
penggunaan simbol, membaca peta dan sebagainya.
d.Pembentukan kebiasaan yang dilakukan dan menambah ketepatan serta kecepatan
pelaksanaan.
e.
Pemanfaatan kebiasaan yang dilakukan dan menambah ketepatan serta kecepatan
pelaksanaan.
f.
Pembentukan kebiasaan-kebiasaan membuat gerakan-gerakan yang kompleks, rumit,
menjadi lebih otomatis.
b. Kelemahan
metode latihan
a. Menghambat bakat dan inisiatif siswa, karena siswa lebih banyak dibawa
kepada penyesuaian dan diarahkan
jauh dari pengertian.
b. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan.
c. Kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal
yang monoton, mudah
m
membosankan.
d. Membentuk kebiasaan yang kaku, karena bersifat otomatis.
e. Dapat menimbulkan verbalisme.
Dalam praktiknya, metode latihan tidak bisa berdiri sendiri namun
divariasikan dengan metode ceramah, sebagaimana dijelaskan Syaiful Bahri
Djamarah :
“Metode latihan umumnya digunakan untuk memperoleh suatu
ketangkasan atau keterampilan dari bahan yang dipelajarinya. Karena itu, metode
ceramah dapat digunakan sebelum maupun sesudah latihan dilakukan. Tujuan dari
ceramah untuk memberikan penjelasan kepada siswa mengenai bentuk keterampilan
tertentu yang akan dilakukannya.”
3. Metode Diskusi
Metode diskusi digunakan
oleh guru SMK Negeri Y Samarinda, umumnya oleh guru mata pelajaran Sejarah,
PPKn, Agama dan Etika, serta guru Bahasa Indonesia untuk materi praktik
diskusi, dan guru kesekretarisan untuk materi praktik pertemuan dan rapat (meeting).
Metode diskusi bermanfat
untuk melatih kemampuan memecahkan masalah secara verbal, dan memupuk sikap
demokratis. Diskusi dilakukan bertolak dari adanya masalah. Menurut Winarno
Surachmad dalam Muhammad Ali (2000:80-81), pertanyaan yang layak didiskusikan
mempunyai ciri sebagai berikut :
1. Menarik minat siswa yang sesuai dengan tarafnya
2. Mempunyai kemungkinan jawaban yang lebih dari sebuah yang dapat
dipertahankan kebenarannya
3. Pada umumnya tidak menyatakan mana jawaban
yang benar, tetapi lebih Banyak mengutamakan hal
mempertimbangkan dan membandingkan.
Metode diskusi mempunyai
kadar CBSA cukup tinggi. Namun
demikian, diskusi dapat berjalan dengan baik dan efektif bila siswa sudah mampu
berfikir dan menggunakan penalaran.
Pelaksanaan sebuah diskusi dapat
dipimpin oleh guru yang bersangkutan, atau dapat pula meminta salah seorang
siswa untuk memimpinnya. Pemimpin diskusi dikenal dengan nama moderator
biasanya secara formal moderator dibantu oleh sekretaris, untuk mencatat
pokok-pokok fikiran penting yang dikemukakan peserta diskusi.
Sayangnya
karena kurikulum di SMK Negeri Y Samarinda yang padat, dan guru harus
menghabiskan materi sesuai program pengajaran maka beberapa guru tidak
mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan memerlukan kerja keras untuk
memperhatikan tiap-tiap kelompok diskusi. Biasanya guru hanya membagi kelompok
pelajar untuk berdiskusi tentang suatu topik, tanpa ada bimbingan, sehingga
masing-masing kelompok berdiskusi, hasil diskusi ditulis di kertas, hasilnya
dikumpulkan.
4. Penugasan
Penugasan kepada siswa sering dilakukan oleh guru SMK Negeri Y
Samarinda. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengisi LKS (Lembar Kegiatan
Siswa), PR (Pekerjaan Rumah), membuat klippping, membuat makalah/karya tulis,
mengadakan studi banding.
Tugas ini sebenarnya baik bagi perkembangan siswa dalam belajar,
namun guru kurang mengadakan bimbingan sehingga seolah-olah, siswa hanya
mengerjakan kewajiban saja, tanpa tahu apa maknanya tugas tersebut. Misalnya
dalam membuat kliping siswa hanya menggunting lalu menempel dan menjilid, tidak
tahu apa maksud isi yang diklipping tersebut. Misalnya siswa membuat makalah,
tanpa pernah dipresentasikan di depan guru/kelas. Misalnya siswa telah
mengerjakan LKS lalu dikumpulkan kepada guru tanpa ada koreksi atau pembahasan.
Rupanya ada keengganan bagi guru
untuk mengoreksi, untuk menindak lanjuti tugas-tugas yang ia berikan kepada siswa,
dan ini bisa berdampak pada siswa yaitu siswa menjadi kurang bersemangat dalam
mengerjakan tugas atau siswa mengerjakan tugas sekedarnya saja (yang penting
telah mengerjakan).
C. Permasalahan
Beberapa pola umum
mengajar guru-guru SMK Negeri Y Samarinda yang telah diuraikan di atas dengan
kelebihan dan kekurangannya masih menimbulkan ganjalan dalam peningkatan mutu
pendidikan dan masih menyisakan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Guru belum mampu
membuat pelajar menjadi Learner autonomy
2. Guru belum
menerapkan konsep belajar tuntas sebagai perwujudan dari learner
autonomy
3. Guru belum
menggunakan perpustakaan sebagai sarana bagi terlaksananya learner autonomy
4. Guru belum
menggunakan metode mengajar yang mengarah pada learner autonomy
D. Analisis Masalah dan Pemecahannya
Pembelajar
mandiri (learner autonomy) adalah suatu masalah yang eksplisit atau
perhatian yang serius atau sadar: kita tidak dapat menerima tanggung jawab
pembelajaran kita meskipun kita mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita
berusaha untuk belajar. Pembelajar harus berinisiatif untuk memberi
bentuk arahan untuk proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan
evaluasi untuk mengembangkan sasaran pembelajar yang dicapai (David Little)
Otonomi
secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri harus menginterpretasikan
kebebasan dari kontrol guru, kebebasan dari tekanan kurikulum bahkan kebebasan
untuk memilih tidak belajar. Masing-masing kebebasan ini harus dihadapkan dan
didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah
kebebasan belajar yang tersirat di dalam diri sendiri. Yang berarti kapasitas
tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pembelajar
mandiri secara umum adalah salah satu hasil perkembangan dan eksperimen
belajar, sebagai contoh penguasaan bahasa Ibu berhasil hanya bila dikembangkan
oleh murid sebagai pengguna bahasa tersebut, sebagai bahasa Ibu. Sama dengan
belajar melalui pengalaman membantu mendefinisikan apa itu pelayanan masyarakat
dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah laku pembelajar mandiri.
Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan pembelajar dalam jangkauan yang
lebar dari kelakuan pembelajar di luar kelas yang tergambar dalam prinsip semua
pembelajar seharusnya mampu di dalam kelas.
Beberapa
kritik diajukan terhadap pembelajar mandiri ini dengan ide-ide yang
bermacam-macam, seperti bagian dari tradisi budaya barat atau pembelajar bukan
barat/aneh. (Jones, 1995). Argumen ini dibantah bahwa metode ini digunakan
untuk mengembangkan pengetahuan pembelajar mandiri sebagai tradisi pengajaran
barat contoh budaya pendidikan Denmark, Inggris dan Irlandia.
Perkembangan Pembelajar mandiri di Jepang dielaborasikan secara spesifik dengan
tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar kelas, diharapkan pengalaman
terhadap tantangan dan pengayaan belajar adalah didapatkan rasa percaya
diri untuk dibawa pulang dengan pengertian yang besar mengenai teori dan
implikasi praktik pendidikan.
Belajar
mandiri membuat para pelajar terbebas dari kelas reguler, membuat belajar
sesuai dengan kemampuan pelajar, dan dapat melayani diri sendiri dalam hal
kebutuhan belajarnya. Untuk itu perlu diupayakan agar belajar mandiri ini dapat
berkembang dengan mendorong para pelajar untuk belajar dengan tekun yang
datang dari keinginannya sendiri. Dengan demikian akan diperoleh generasi yang
proaktif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan kritis. Dengan
pembelajar mandiri maka akan tercipta generasi bisa bertoleransi, bisa
berdemokrasi, dan berbudi pekerti, serta menghargai hak-hak orang lain. Maka
untuk selanjutnya kita tidak lagi menyebut siswa, student atau pupil
tapi learner atau pelajar bagi anak didik kita.
Permasalahan
pertama, Guru belum mampu membuat pelajar menjadi Learner autonomy atau
pelajar menjadi mandiri dalam belajar ini disebabkan oleh adanya
pengkotak-kotakan siswa dalam kelas unggulan, dan bukan unggulan. Pada kelas
unggulan yang berisi siswa dengan prestasi diatas rata-rata telah terjadi
persaingan yang ketat antar mereka, pada kelas ini guru senang dan bersemangat
dalam mengajar karena siswa mudah mengerti dan mudah di atur. Motivasi siswa
untuk belajar dan berhasil dalam belajar tinggi, sehingga mereka mampu mandiri
mamapu menjadi pelajar yang mandiri. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan mereka
dalam mengambil inisiatif jika terjadi kekosongan guru/jam kosong, mereka
mulai belajar sendiri melalui kunjungan ke perpustakaan, membaca buku pelajaran
sendiri, atau membuat kelompok-kelompok diskusi. Lain halnya pada kelas yang
dibawah unggulan mereka kurang termotivasi belajar, semakin kebawah kelasnya
semakin tidak semangat untuk belajar. Pada kelas ini mereka merasa sebagai
kelas afkiran, mereka kelas kedua dan bukan kelas utama, mereka anak-anak yang
bodoh yang bermasalah.
Falah
Yunus (1999), dalam penelitiannya tentang hubungan motivasi dengan prestasi
belajar di SMK Negeri Y Samarinda ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1 Korelasi motivasi
belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)
2 Interpretasi r=
0,62 yaitu : tingkat hubungan adalah “kuat”
3
Sumbangan relatif motivasi terhadap prestasi belajar (r2=0,39 atau
39%), sedang sisanya 61% dipengaruhi
oleh faktor lain.
4. Pada angket motivasi dibagi dua yaitu
motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik, ternyata motivasi intrinsik lebih
dominan daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.
5. Di
SMK Negeri Y ada kelas unggulan dan kelas biasa, ternyata kelas unggulan
motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa. Dari pernyataan ke 5 simpulan
penelitian tersebut, maka seyogyanya agar pelajar dapat mandiri, sekolah jangan
membuat kelas unggulan. Jika mau membuat kelas unggulan buat saja sekolah
unggulan tersendiri. Untuk itu sebaiknya kelas di campur saja sehingga dalam
satu kelas terdapat siswa pandai, sedang dan kurang yang mereka akan berinteraksi
dan saling menyadari akan kekurangan dan kelebihan, dan terjaminlah rasa
keadilan.
Permasalahan ke dua, Guru
belum menerapkan konsep belajar tuntas di SMK Negeri 1 Samarinda sebagai
perwujudan dari learner autonomy. Dalam Garis-garis besar Program pendidikan
dan Pelatihan (GBPP) Kurikulum SMK, menganut prinsip sebagai berikut :
1. Berbasis
luas, kuat dan mendasar (Broad Based Curriculum/BBC)
2. Berbasis
kompetensi (Competenci Based Curriculum)
Pengertian
Broad Based Curriculum adalah pola penyajian kurikulum yang terstruktur
mulai dari kemampuan dasar, kemampuan lanjutan, sampai kemampuan
spesialisasi/keahlian 3 aspek dalam pengembangan BBC
pertama, pendidikan harus selebar mungkin cakupannya, agar tamatan yang akan
bekerja akan dapat menemukan tempat pada lapangan kerja lainnya yang berdekatan
dengan kualifiaksi bidang kejuruannya. Kedua pendidikan harus sedalam mungkin
agar tamatan yang akan bekerja memiliki kualifikasi yang memadai untuk
pekerjaan yang menuntut spesialisai.
Pengertian
Pendekatan Competency/kemampuan adalah seperangkat tindakan inteligensi dan
penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai prasyarat
melaksanakan bidang pekerjaan tertentu
Sehubungan
dengan hal tersebut di SMK ada istilah remedial dan pengayaan,
maksudnya siswa diharapkan untuk menuntaskan pelajaran sebelum ia mempelajari
pelajaran berikutnya atau dalam istilah SMK siswa harus menuntaskan kompetensi
pertama sebelum mempelajari kompetensi kedua. Jika siswa belum ternyata belum
tuntas maka guru perlu memberikan pengayaan dan remedial. Ini sebenarnya sebuah
langkah bahwa siswa harus belajar dan belajar secara kontinyu. Ini adalah
mengarah pada siswa menjadi pembelajar mandiri.
Bagaimana
guru dapat membuat siswa menjadi pembelajar mandiri dalam menuntaskan
pembelajaran ketika dilaksanakan remedial atau pengayaan. Hal ini bisa
dilakukan bermacam-macam cara, misalnya guru memberikan tugas kepada pelajar
untuk membuat makalah, guru membuat modul yang harus dipelajari pelajar di
rumah dan sebagainya.
Pengajaran remedial (remedial teaching ) adalah suatu
bentuk pengajaran yang bersifat perbaikan, atau pengajaran yang membuat menjadi
baik.
Dalam
belajar mengajar guru melakukan pengajaran dengan tujuan agar siswa dapat
belajar secara optimal. Namun jika ternyata terdapat siswa yang lamban
dalam belajar dan prestasi belajarnya rendah maka diperlukan suatu proses
belajar mengajar yang dapat membantu siswa agar tercapai hasil yang diharapkan
(Moh Uzer Usman,2000).
Pengayaan
adalah kegiatan tambahan yang diberikan kepada siswa yang telah mencapai
ketentuan dalam belajar yang dimaksudkan untuk menambah wawasan atau memperluas
pengetahuannya dalam materi pelajarn yang telah dipelajarinya (Moh Uzer Usman,
2000).
Permasalahan ke tiga, guru
belum menggunakan perpustakaan sebagai sarana bagi terlaksananya learner
autonomy. Perpustakaan merupakan pusat dan sumber belajar bagi pelajar dan
ciri-ciri khas dari seorang pembelajar mandiri adalah kegemarannya dalam
membaca. Jika guru mampu menggunakan perpustakaan semaksimal mungkin sebagai
sumber belajar siswa, maka tujuan menjadikan siswa suka belajar akan tercapai.
Guru tidak bisa memberikan
semua dan seluas-luasnya lmu kepada siswa, mengingat cepatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu perpustakaan di sekolah harus
diberdayakan. Proses belajar mengajar harus melibatkan perpustakaan sekolah.
Disamping itu siswa juga diberdayakan untuk menggunakan jaringan komputer
(Internet) sebagai sumber pustaka Audio Visual Aids (AVA).
Banyak informasi yang bisa diakses dari Internet untuk mengembangkan pengetahun
siswa seperti jurnal ilmiah, berita, dan informasi lainnya yang membantu
penambahan ilmu pengetahuan siswa.
Menurut SWA-Markplus, dari
lima kota (daerah) yang mereka survey yaitu Jabotabek, Surabaya, Bandung,
Yogyakarta dan Medan akses internet dari perguruan tinggi dan sekolah terbilang
kecil rata-rata 6,7%. Bandingkan dengan akses dari warnet yang menunjukkan
angka 45,8% atau dari rumah 19%.
Rupanya
internet di kampus dan sekolah belum menjadi kebutuhan. Masih banyak kepala
sekolah yang menganggap internet belum jelas manfaatnya di sekolah. Karena
itulah mereka tak melengkapi sekolahnya dengan internet. Alasan lain karena
faktor dana dan tidak tersedianya sumber daya yang paham internet. Demikian
diungkapkan Amir Faisal, staf Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
(Dimenjur) yang sering berkunjung ke sekolah-sekolah di Indonesia untuk melatih
penggunaan internet. Dari 700 Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di
Indonesia, baru 300 sekolah yang membuka Internet, “tuturnya
(Republika,17/10/2000).
Permasalahan
keempat, guru belum menggunakan metode mengajar yang mengarah pada
learner autonomy. Perlu bagi guru untuk mengembangkan metode mengajarnya ke
arah pelajar menjadi mandiri. Belajar Kelompok atau Diskusi kelompok yang
diungkapkan di atas jika di kelola dengan serius oleh guru akan mengantarkan
pelajar menjadi pembelajar mandiri.
Belajar
Kelompok (Cooperative learning) adalah sebuah strategi pengajaran yang
sukses di dalam tim kecil, penggunaan sebuah variasi dari aktivitas belajar
untuk memperbaiki pemahaman subyek. Setiap anggota tim tidak hanya bertanggung
jawab pada belajar yang telah diajarkan tapi juga membantu kawan belajar
se-tim, jadi membuat sebuah kondisi berprestasi (Stephen Balkcom).
Ciri-ciri
pembelajaran kooperatif menurut Muslimin Ibrahin (2000) adalah :
1.Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajarnya
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah
3.Bila
mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelamin
berbeda-beda
4.Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu
Langkah-langkah Model Pembelajaran
Kooperative :
Fase
|
Tingkah Laku Guru
|
Fase
1
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi siswa
Fase
2
Menyajikan
informasi
Fase
3
Mengorganisasikan
siswa kedalam ke –
lompok-kelompok
belajar
Fase
4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
Fase
5
Evaluasi
Fase
6
Memberikan
penghargaan
|
Guru
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar
Guru
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demostrasi atau lewat bahan
bacaan
Guru
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu agar setiap kelompok melakukan transisi secara fisien
Guru
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Guru
mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok
|
Belajar
kelompok yang terdiri 4-6 anak per kelompok sangat bagus bagi perkembangan kepribadian
anak dan perkembangan sosialisasi. Pada belajar ini siswa dapat saling
berinteraksi sehingga akan timbul rasa persaudaraan, siswa belajar untuk
mengeluarkan pendapat, ide. Siswa akan bangga terhadap penguasaan topik
tertentu dan akan memberikan presentasi kepada teman-temannya, bahkan dalam
salah satu strategi belajar kelompok siswa dapat memperoleh julukan ahli
misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam belajar kelompok.
Linda luendgren (1994 dan Nur dkk, 1997) yang dikutip oleh Muslimin
Ibrahim dkk, memberikan beberapa hasil penelitian yang menunjukan manfaat
pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil yang rendah antara lain :
·
Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas
·
Rasa harga diri lebih tinggi
·
Memperbaiki sikap terhadap IPA dan segala
·
Memperbaiki kehadiran
·
Angka putus sekolah menjadi lebih rendah
·
Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar
·
Perilaku menggangu menjadi lebih kecil
·
Konflik antar pribadi berkurang
·
Sikap apatis berkurang
·
Pemahaman yang lebih mendalam
·
Motivasi lebih besar
·
Hasil belajar lebih tinggi
·
Retensi lebih lama
·
Meningkatakan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Berdasarkan
teknik pelaksanaan , diskusi kelompok dapat digolongkan dua macam, yang jika
dilaksanakan akan mengarahkan siswa untuk menjadi pembelajar mandiri, yaitu :
1.
Debate. Di dalam debate terdapat dua kelompok mempertahankan pendapatnya
masing-masing yang bertentangan. Pendengar (Audience) dijadikan sebagai
kelompok yang memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam keputusan
akhir. Agar debate tidak bekrpanjangan harus dibatasi sesuai dengan waktu yang
tersedia.
2.
Diskusi. Diskusi pada dasarnya merupakan musyawarah untuk mencari titik
temu pendapat tentang sesuatu masalah. Ditinjau dari pelaksanaannya dapat
digolongkan ke dalam :
a. Diskusi kelas. Diskusi kelas adalah semacam ‘brain
storming’ (pertukaran pendapat). Dalam hal ini guru mengajukan pertanyaan
kepada seluruh kelas. Jawaban dari siswa diajukan lagi kepada siswa lain atau
dapat pula meminta pendapat siswa lain tentang hal itu. Sehingga terjadi
pertukaran pendapat secara serius dan wajar.
b. Diskusi
kelompok. Guru
mengemukakan suatu masalah. Masalah dipecah ke dalam sub masalah. Siswa dibagi
ke dalam kelompok-kelompok kecil mendiskusikan sub-sub masalah tersebut. Hasil
diskusi kelompok dilaporkan di depan kelas dan ditanggapi. Kesimpulan akhir
adalah kesimpulan hasil laporan kelompok yang sudah ditanggapi seluruh isiwa.
c. Panel. Panel merupakan diskusi yang
dilakukan oleh beberapa orang saja. Bisanya antara 3 sampai dengan 7 orang
panelis. Siswa lain hanya bertindak sebagai pendengar (Audience). Dengan
diskusi yang dilakukan oleh panelis tadi, audiens dapat memahami maksud yang
terkandung pada masalah yang didiskusikan; merangsang berfikir untuk
mendiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu panel dilakukan oleh orang-orang
yang benar-benar ahli memahami seluk beluk masalah yang didiskusikan. Panel
tidak bertujuan memproleh kesimpulan, tapi merangsang berfikir agar siswa
mendiskusikan lebih lanjut.
d. Konferensi. Dalam konferensi anggota duduk
saling menghadap, mendiskusikan sesuatu masalah. Setiap peserta/siswa harus
memahami bahwa kehadirannya harus sudah mempersiapkan pendapat yang akan
diajukan.
e. Symposium. Pelaksanaan symposium dapat menempuh
dua cara. Cara pertama, mengundang dua orang pembicara atau lebih. Setiap
pembicara dimintakan untuk menyajikan prasaran yang sudah ditulis. Masalah yang
dibahas oleh setiap pembicara adalah sama. Namun masing-masing menyoroti dari
sudut pandangan yang berbeda-beda. Cara ke dua, membagi masalah ke dalam
beberapa aspek. Setiap aspek di bahas oleh seorang pemrasaran, Selanjutnya
disiapkan penyanggah umum yang akan menyoroti pemrasaran tersebut. Setelah
selesai penyanggah umum memberikan sanggahan, baru diberikan kesempatan
memberikan jawaban sanggahan.
f. Seminar. Seminar merupakan pembahasan ilmiah
yang dilaksankan dalam meletakkan dasar-dasr pembinaan tentang masalah yang
dibahas. Pembahasan seminar bertolak dari kertas kerja yang disusun oleh
pemrasaran, dan maksud yang terkandung dalam pokok seminar (tema).
Pelaksanaanya seringkali diawali dengan pandangan umum atau pengarahan dari
fihak tertentu yang berkepentingan.
Peranan guru sebagai pemimpin diskusi pada umumnya adalah sebagai berikut
:
1. Pengatur jalannya diskusi, yakni :
a.
Menunjukkan pertanyaan kepada seorang siswa
b. Menjaga
ketertiban pembicaraan
c. Memberi
rangsangan kepada siswa untuk berpendapat
d.
Memperjelas suatu pendapat yang dikemukakan
2. Sebagai dinding
penangkis, yakni menerima dan menyebarkan pertanyaan
/pendapat
kepada seluruh peserta
3. Sebagai penunjuk jalan,
yakni memberikan pengarahan tentang tatacara
diskusi
(muhamad Ali,1990:80)
Dalam pengajaran bahasa,
terutama bahasa Inggris penggunaan belajar kelompok seperti diskusi kelompok
dan seminar akan sangat menarik, dan mampu membuat siswa menjadi mahir dalam berbahasa
Inggris, sebab siswa dengan metode ini mau tidak mau dipaksa untuk menggunakan
bahasa Inggris dalam melakukan pembicaraan, menyanggah, berdebat dan
berargumentasi.
Di SMK Negeri Y Samarinda,
berhubung ada pelaksanaan Praktik Industri (On the Job Training) dimana
siswa harus meninggalkan sekolah selama 3 (tiga) bulan untuk latihan kerja di
dunia usaha/perusahaan maka akan mengakibatkan jam belajar siswa berkurang.
Untuk itu perlu bagi sekolah untuk mampu membuat siswa menjadi pembelajar
mandiri di rumah dengan cara belajar menggunakan Modul.
Menurut James D. Ruseel
(1973) dalam Muhammad Ali, modul yaitu merupakan suatu paket belajar mengajar
berkenaan dengan satu unit bahan pelajaran. Dengan modul siswa dapat mencapai
taraf mastery (tuntas) dengan belajar secara individual. Siswa tidak
dapat melanjutkan ke suatu unit pelajaran berikutnya sebelum mencapai taraf
tuntas. Biasanya modul menggunakan multi media. Dengan melalui modul siswa
dapat mengontrol kemampuan dan intesitas belajarnya, modul dapat dipelajari
dimana saja. Lama sebuah modul tidak tertentu. Dapat beberapa menit, dapat
bebetapa jam, dapat dilakukan secara tersendiri atau dibuat variasi dengan
metoda lain.
Jika dilihat dari segi
interaksi belajar mengajar yang berorientasi pada siswa sebagai subyek maka,
modul itu dapat membuat:
1. Anak didik akan
lebih aktif dalam belajar karena yang bersangkutan dituntut aktif
berpartisipasi dalam setiap penyelesaian modul sesuai kemampuan anak dan guru
hanya sebagai pembimbing, yang berusaha mengatur kelas sedemikian rupa sehingga
anak belajar dengan baik.
2. Anak belajar
sesuai dengan pertumbuhan masing-masing. Anak yang cepat akan dapat
menyelsaikan modul lebih dahulu, tetapi ada pula anak yang lambat dalam
penyelesaian modulnya.
E. Simpulan dan Saran
Dari uraian di atas dapat
di buat simpulan dan saran sebagai berikut :
1. SMK Negeri Y
Samarinda dalam proses belajar mengajar belum memberdayakan pelajar menjadi Learner
Autonomy, padahal ini perlu digalakkan dalam kerangka menjebatani salah
satu kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam
meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM dengan konsep menggunakan
paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan
pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan
2. SMK Negeri Y
Samarinda perlu memberdayakan siswa menjadi leraner outonomy dengan menghapus
kelas unggulan, memberdayakan perpustakaan dan jaringan komputer (internet),
pelaksanaan belajar tuntas dengan mengadakan remedial dan pengayaan, metode
belajar kelompok terutama diskusi kelompok dan seminar dan pengajaran modul
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Internet
Belum Dianggap Penting Di SMK,
berita dalam harian Republika, 17/10/00
Astati, Sutriati,
1999, Pendukung Pelaksanaan Buku II Kurikulum SMK Edisi
1999, PPPGK Sawangan, Depdikbud
Balkcom,
Stephen, Cooperative Learning, diakses dari http://www.ed.
gov/pubs/ OR/Consumen Guides/Index.html diakses 2 Mei 2002
arah, Syaiful Bakri, 1996, Starategi
Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000, Pembelajaran
Cooperative, Program Pascasarjana Unesa, University Press, Surabaya
Little, David, Learner Autonomy : What and Why
?, The Language Teacher Online 22.10, diakses dari http://longue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t
/98/nov/littledam.html diakses 2 Mei 2002
Usman, Moh. Uzer, 2000. Upaya Optimalisasi Kegiatan
Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung
Yusuf, A. Muri, 1982, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar