MENJADIKAN ANAK TAAT
PADA SYARI’AH
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat
ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar
menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan
sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi
pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di
lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang
bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
1.
Asah
Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat
ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang
yang lebih berani dan agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus
globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar
dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak
dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru.
Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan
mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua
terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak
shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau
mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi
banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan
menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam
berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau
guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi
hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab
atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti
anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah
memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu
yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua
hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah.
Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak.
Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir
dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih
sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut
seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin
dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan
hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa
merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu,
terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak
mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
2.
Jadilah Anda
teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti
mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan
contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan
pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka
menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap,
mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang
terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak
‘gaul’.
3.
Tanamkan
Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama
orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR
al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar
si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan,
seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma
Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk
membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak
harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh
keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu
sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma
dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar,
Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan
seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan
tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan
bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu
akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya
gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai
dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses
pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan
hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa,
atau membaca al-Quran bersama.
4.
Yang
tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah.
Seperti berbakti kepada orangtua, santun dan
sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong,
bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik
lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata
untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
5.
Kerjasama
Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan
mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua
adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan.
Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam
memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih.
Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah
keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan
ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak,
tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi
kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang
mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat,
sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak
jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang
aku kan lagi batuk, nih…”
6.
Peran
Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada
anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang
berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan
tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat
secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat
memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut
nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah
keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat
dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme,
hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga
Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan
yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia
mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam
lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga
akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka
dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai
Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang
taat syariah. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar