Dalam mendidik anak, disiplin berarti
mengajari anak untuk belajar mematuhi aturan dan tata tertib dalam kehidupan
bersama entah dalam lingkungan keluarga, masyarakat, atau sekolah. Disiplin
sebagai sikap sangat penting agar anak tidak berperilaku semau gue, anak juga belajar
untuk mengendalikan diri. Oleh sebab itu, disiplin sering dikonotasikan dengan
tindakan ''ketegasan'' atau ''hukuman'' terhadap pelanggaran yang dilakukan
anak. Tak jarang atas nama kedisiplinan, orangtua atau guru bisa melakukan
kekerasan anak. Bagaimana semestinya mendisiplinkan anak?
Sering terdengar muncul keluhan bahwa anak-anak sekarang
sulit didisiplinkan, cenderung melawan dan berani membantah orangtua atau guru.
Tindakan-tindakan
kekerasan bukannya mengubah perilaku, justru memperburuk hubungannya dengan
anak. Di samping itu, ada pendapat agar orangtua lebih bersikap lemah lembut
dan penuh kasih sayang terhadap anak. Apakah sikap "lembek" dan
permisif semacam ini justru tidak akan memperburuk keadaan, membuat anak-anak
semakin brutal dan tidak tahu sopan santun serta aturan? Di tengah situasi . dilematis
begini, agar mendisiplinkan akan bisa efektif, kiat-kiat berikut perlu disimak.
1. Anak Merasa Dicintai
Kebutuhan dasar
setiap anak adalah dicintai dan diterima tanpa syarat. Anak benar-benar merasakan
bahwa orangtuanya mencintai dirinya melalui tindakan nyata sehari-hari yang
terungkap lewat kata-kata ataupun perbuatan. Ketika kebutuhan dasar ini
terpenuhi, anak cenderung berpikir positif dan kooperatif dengan orangtua.
Dengan merasa dicintai, anak akan menerima tindakan pendisiplinan dan hukuman
secara positif. Mereka percaya bahwa apapun yang dilakukan orangtua demi
kebaikan dirinya.
Sebaliknya,
jika anak merasa tidak dicintai dan tidak diterima, apa pun yang dilakukan
orangtua cenderung dinilai secara negatif. Secara naluriah anak pun bereaksi
terhadap tindakan pendisiplinan, bisa berupa perlawanan, protes, atau sikap tak
acuh. Pendisiplinan tanpa didasari rasa cinta hanya melahirkan kemarahan,
kebencian, dan balas dendam pada diri anak.
2. Tetapkan Aturan Bersama
Jika tindakan
disiplin menyangkut aturan dan tata tertib, sebaiknya anak sudah mengetahui
sebelumnya apa risikonya jika melanggar aturan tersebut. Hukuman yang tiba-tiba
sering dimengerti anak sebagai tindakan yang tidak adil sehingga reaksi pun
negatif dan tidak efektif. Misalnya, orangtua menerapkan aturan agar anak makan
malam bersama pukul tujuh di rumah, sedangkan bagi yang tidak bisa harus
memberitahu sebelumnya, atau setidaknya menelepon. Bagi yang melanggar,
hukumannya adalah "tugas mencuci piring pada hari berikutnya."
Jika aturan ini
disepakati bersama, masing-masing anggota keluarga akan berusaha memberikan
komitmen dengan senang hati, bagi yang terpaksa melanggar pun hukuman bisa
dijalankan tanpa diwarnai amarah dan kebencian. Aturan-aturan yang dibuat dalam
keluarga dan disepakati bersama akan menjadi media belajar bagi anak untuk
menumbuhkan sikap sosialitas dan tanggungjawab. Orangtua pun tidak harus
memaksakan otoritasnya karena aturan dengan sendiri sudah berfungsi sebagai alat
pendisiplinan.
3. Anak Tahu Kesalahan
Ketika anak
melakukan tindakan negatif, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, apakah anak sengaja atau tanpa unsur kesengajaan. Kedua, apakah anak
menyadari kesalahannya atau tanpa penyesalan sedikit pun. Tindakan
pendisiplinan mutlak perlu dan paling keras diberikan jika anak sengaja dan
tidak menyesali perbuatannya. Jika anak sengaja tetapi menyesali perbuatannya,
berarti anak mau belajar dari kesalahan.
Pendisiplinan
terlalu keras justru tidak mendidik di kemudian hari karena anak merasa tidak
dihargai. Jika anak tidak sengaja, dan menyesali perbuatannya, maka yang paling
bijak adalah tindakan memaafkan karena pada prinsipnya anak tidak bersalah.
Dalam kasus-kasus seperti ini, orangtua benar-benar harus berlaku bijaksana
agar tindakan pendisiplinan memiliki nilai edukatif yang mampu mengubah
perilaku anak ke arah lebih positif.
4. Bukan Amarah dan Emosi
Tak jarang
tindakan pendisiplinan didorong oleh rasa marah dan suasana emosional karena
harga diri dan kewibawaan orangtua terasa dirongrong, atau frustrasi menghadapi
perlawanan anak. Jika hal ini yang terjadi, tindakan pendisiplinan tentu tidak
efektif bahkan bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Orangtua terlebih dulu
perlu introspeksi, apakah masih dikuasai emosi dan amarah, dan apakah tindakan
Anda masih rasional, semata-mata demi kepentingan dan kebaikan anak atau tidak.
Tunjukkan atau
katakan bahwa Anda tetap menghormati dan mencintai pribadi anak, hanya
perbuatannya yang Anda tidak setuju. Cara ini akan mengurangi resistensi anak,
dan memotivasi untuk membangun sikap positif. Tidak ada kesan seorang orangtua
melakukan pembalasan terhadap kesalahan anak, justru sebaliknya timbulnya kesan
pada diri anak bahwa Anda terpaksa melakukannya. Dengan cara demikian, tindakan
pendisiplinan sebagai koreksi atas perbuatan anak.
5. Hargai Perubahan
Sering timbul
kesan pada diri anak bahwa orangtua bisanya hanya melihat kekurangan dan kurang
bisa menghargai hal yang positif. Ketika anak melakukan tindak negatif, baru
orangtua bereaksi, tetapi ketika anak menunjukkan perilaku positif tak ada
penghargaan apa pun. Penggunaan kata "selalu" atau "tidak
pernah" membuat anak merasa tak dihargai, misalnya "Kamu selalu
malas!" atau "kamu tidak pernah nurut sama orangtua!". Apakah
selamanya si anak malas dan tak pernah barang sekali pun menuruti perintah?
Perlakuan orangtua yang negatif thinking akan menimbulkan
reaksi yang negatif pula. Karena itu, hargailah setiap perubahan positif
sekecil apa pun karena pada dasarnya setiap orang butuh dihargai dan diakui.
Berhentilah membuat daftar kekurangan anak, dan mulai mencatat
kelebihan-kelebihannya kendati belum seperti yang Anda harapan. Pujian dan
kata-kata pendukung disertai sentuhan fisik tetap merupakan stimulus yang efektif
bagi anak.
6. Lihat Keunikan Pribadi
Tak ada manusia
yang sama persis. Karenanya, setiap pribadi adalah unik, tiada duanya.
Kelemahan tindakan pendisiplinan adalah sifatnya yang seragam sehingga tidak
memandang keunikan pribadi. Bagi si A cukup diberi peringatan keras perilakunya
bisa dikendalikan, namun si B mungkin dengan pukulan pun belum mempan. Bagi
seseorang, hukuman tertentu benar-benar menakutkan, namun bagi yang lain
hukuman yang sama justru menjadi hiburan. Maka, orangtua harus bijak memilih tindakan
pendisiplinan yang tepat untuk masing-masing anak sesuai dengan keunikan
pribadinya.
Tindakan
pendisiplinan tetap harus dipahami dalam konteks pendidikan, mengubah perilaku
dan membentuk kebiasaan positif pada diri anak. Dengan menghargai keunikan
pribadi anak, orangtua sebenarnya sudah menyentuh kebutuhan emosional anak.
Misalnya, kepada anak yang memiliki kepekaan perasaan, orangtua cukup berbicara
dengan lembut namun tegas. Sebaliknya, kepada anak yang berpembawaan suka
membantah dan kritis, orangtua perlu berkata tegas dan memberi alasan yang
jelas.
7. Dari Sudut
Anak
Menghadapi anak yang berperilaku buruk, orangtua tak bisa
membuat ukuran penilaiannya sendiri sebagai orang dewasa. Anak umur dua tahun
yang egois adalah normal karena ia sedang belajar otonomi sehingga tak perlu
dimarahi atau dianggap sebagai tidak memiliki rasa sosial. Pun anak remaja yang
cenderung menentang bukan berarti sedang melawan orangtua, dalam dirinya sedang
berlangsung proses identifikasi diri, ingin diakui sebagai pribagi yang
independen.
Karena itu, orangtua mesti melihat secara positif setiap
bentuk perlawanan yang dilakukan anak, bukan sebagai ungkapan "Aku berani
sama kamu" sehingga perlu dihantam dan dijinakkan, melainkan sebagai
dambaan hatinya yang terdalam, "Cintailah aku, terimalah aku, dan
hargailah aku!" Dengan demikian, orangtua pun terdorong untuk melakukan
tindakan cinta, kendati dalam bentuk pendisiplinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar